benteng Kuto Besak merupakan bangunan peninggalan sejarah pada masa Kesultanan Palembang Darussalam. Pada abad ke-17 Masehi itu, kebudayaan Islam hadir dan terus mengakar, terutama pasca-kemunduran Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-13 Masehi.
Mengacu catatan sejarah di Balai Arkeologi Kota Palembang, benteng yang proses pendiriannya memakan waktu 17 tahun (1780-1797) ini dibangun atas prakarsa Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) I. Namun, Sultan Muhammad Bahauddin, putra SMB I sekaligus ahli waris takhta Kesultanan Palembang Darussalam, yang akhirnya membangun hingga meresmikan penggunaannya pada 21 Februari 1797.
Retno Purwanti, arkeolog dari Balai Arkeologi Palembang, menyebutkan, benteng sebenarnya merupakan bangunan keraton Palembang Darussalam. Sultan Bahauddin menamakannya Keraton Kuto Besak atau Keraton Kuto Tengkuruk, yang panjangnya 288,75 meter, lebar 183,75 meter, tinggi 9,99 meter, dan ketebalan dinding 1,99 meter.
Benteng Kuto Besak (BKB) dibangun untuk menggantikan keraton lama, Benteng Kuto Lamo, yang disebut juga Keraton Kuto Tengkuruk atau Keraton Kuto Lamo, yang berlokasi persis di samping kiri. Keraton Kuto Tengkuruk lalu menjadi rumah tinggal residen Belanda. Saat ini, Keraton Kuto Tengkuruk difungsikan menjadi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Posisi BKB yang dibangun di tepi Sungai Musi membujur dari arah hulu ke hilir (barat ke timur). Salah satu ciri khas terletak pada keberadaan tiga bastion (istilah untuk konstruksi batu).
”Benteng Kuto Besak satu-satunya benteng di Indonesia yang dibangun pribumi,” kata Retno.
Menurut Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, ketahanan bangunan Keraton Kuto Besak sudah teruji selama Perang Menteng (1819) dan Perang Palembang (1821). Tahun 1821 itulah Keraton Kuto Besak dikuasai Belanda.
”Ketika Belanda menghancurkan Keraton Kuto Tengkuruk tahun 1823, Keraton Kuto Besak tetap kokoh berdiri sampai sekarang,” ujar Bambang.
Tidak leluasa
Walau berdiri kokoh, warga Palembang dan wisatawan dari luar daerah dan mancanegara saat ini hanya bisa menyaksikan BKB dari luar. Benteng yang dikelola Kodam Sriwijaya itu telah dialihfungsikan menjadi Kantor Kesehatan Kodam Sriwijaya dan rumah sakit.
Warga tak bisa leluasa masuk ke dalam benteng karena pintu masuk dijaga ketat aparat. Sejumlah warga yang dimintai pendapat sebenarnya menginginkan BKB dikelola pemerintah saja.
”Tujuannya agar rakyat seperti saya bisa memasuki benteng. Tentu bukan untuk hal negatif, tetapi agar lebih dekat menyaksikan simbol kebesaran masa lalu,” kata Hamdani (35), warga Kelurahan Sekanak, yang sedang menemani anaknya bermain bola di depan benteng.
Sejarawan dan budayawan Djohan Hanafiah juga menilai pengembalian BKB dari militer kepada pemerintah sangat tepat. Untuk mewujudkan itu, Djohan bersama sekelompok masyarakat pernah berjuang mengembalikan bangunan itu kepada negara.
”Sepuluh tahun silam saya dan pemerhati sejarah sepakat mengembangkan Benteng Kuto Besak menjadi pusat informasi dan pariwisata, serta simbol sejarah kesultanan,” katanya.
Setelah sampai di tangan Panglima TNI, perjuangan Djohan justru terhenti. Menurut dia, pemerintah terbentur soal biaya perawatan. Dengan kata lain, pemerintah daerah mempersilakan pihak militer mengelola BKB.
Merawat dan menjaga
Saat dimintai tanggapannya, Kepala Penerangan Kodam Sriwijaya Letnan Kolonel M Noor menjelaskan, alih fungsi BKB menjadi Kantor Kesehatan Kodam Sriwijaya dan rumah sakit tidak dilakukan secara sembarangan dan bukan untuk kepentingan militer semata.
Noor membantah tudingan bahwa pihak Kodam Sriwijaya tidak merawat BKB. ”Setiap sudut bangunan selalu dipelihara dan dijaga dengan baik.”
Apalagi, lanjut Noor, beberapa bangunan benteng difungsikan menjadi rumah sakit umum yang juga melayani publik. Secara tidak langsung, masyarakat Palembang sebenarnya bisa menikmati benteng itu secara utuh. Benteng Kuto Besak
Kuta Besak adalah keraton pusat Kesultanan Palembang Darussalam, sebagai pusat kekuasaan tradisional yang mengalami proses perubahan dari zaman madya menuju zaman baru di abad ke-19. Pengertian KUTO di sini berasal dari kata Sanskerta, yang berarti: Kota, puri, benteng, kubu (lihat ‘Kamus Jawa Kuno – Indonesia’, L Mardiwarsito, Nusa Indah Flores, 1986). Bahasa Melayu (Palembang) tampaknya lebih menekankan pada arti puri, benteng, kubu bahkan arti kuto lebih diartikan pada pengertian pagar tinggi yang berbentuk dinding. Sedangkan pengertian kota lebih diterjemahkan kepada negeri.
7 kaki. Tembok ini diperkuat dengan 4 bastion (baluarti). Di dalam masih ada tembok yang serupa dan hampir sama tingginya, dengan pintu-pintu gerbang yang kuat, sehingga ini dapat juga dipergunakan untuk pertahanan jika tembok pertama dapat didobrak (lihat LJ. Sevenhoven, Lukisan, halaman 14).
Benteng Kuto Besak 1935 an
Pengukuran terbaru para konsutan sendiri mendapatkan ukuran yang sedikit berbeda, yaitu panjang 290 meter dan lebar 180 meter. Pendapat de Sturler megenai kondisi benteng Kuto Besak:
“… lebar 77 roede dan panjangnya 44 roede, dilengkapi dengan 3 baluarti separo dan sebuah baluarti penuh, yang melengkapi keempat sisi keliling tembok. Tembok tersebut tebalnya 5 kaki dan tinggi dari tanah 22 dan 24 kaki.
Di bagian dalam di tengah kraton disebut Dalem, khusus untuk tempat kediaman raja, lebih tinggi beberapa kaki dari bangunan biasa. Seluruhnya dikelilingi oleh dinding yang tinggi sehingga membawa satu perlindungan bagi raja. Tak seorang pun boleh mendekati tempat tinggal raja ini kecuali para keluarganya atau orang yang diperintahkannya. Bangunan batu yang lain dalam kraton adalah tempat untuk menyimpan amunisi dan peluru”. (lihat W. L de Sturler - Proeve – halaman 186)
Pada saat peperangan melawan penjajah Belanda tahun 1819, terdapat sebanyak 129 pucuk meriam berada di atas tembok Kuto Besak. Sedangkan saat pada peperangan tahun 1821, hanya ada 75 pucuk meriam di atas dinding Kuto Besak dan 30 pucuk di sepanjang tembok sungai, yang siaga mengancam penyerang.* [triyono-infokito]
Catatan lainnya
Menggambarkan ketika Sultan Mahmmud Badaruddin II sedang di giring belanda ke pengasingan di ternate tahun 1821 setelah perang Palembang ke III dengan latar belakan benteng Kuto Besak (Ilustrasi)
Benteng Kuto Besak ini sebenarnya adalah keraton keempat dari Kesultanan Palembang. Pada awalnya keraton Kesultanan Palembang bernama Kuto Gawang dan terletak di lokasi yang sekarang dijadikan pabrik pupuk Sriwijaya.
Tahun 1651, ketika Bangsa Belanda ingin memegang monopoli perdagangan di Palembang, keinginan tersebut ditentang oleh Sultan Palembang, sehingga terjadi perselisihan yang puncaknya adalah penyerbuan terhadap keraton tersebut. Penyerbuan yang disertai pembumihangusan tersebut menyebabkan dipindahkannya pusat pemerintahan ke daerah Beringinjanggut di tepi Sungai Tengkuruk, di sekitar Pasar 16 Ilir sekarang.
Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724 -- 1758) pusat pemerintahan tersebut dipindahkan lagi ke lokasi yang sekarang menjadi lokasi Museum Sultan Mahmud Badaruddin II.
Selanjutnya pusat pemerintahan berpindah lagi ke lokasi yang baru, yaitu yang sampai sekarang dikenal dengan nama Kuto Besak (Hanafiah 1989).
Secara spesifik sistem pertahanan di Benteng Kuto Besak menunjukan bahwa pada saat itu Sultan Mahmud Baharuddin I telah memperhitungkan dengan cermat tentang bagaimana cara melindungi pusat pemerintahannya. Pendirian benteng yang berada di lahan yang dikelilingi oleh sungai-sungai jelas menunjukkan bahwa siapapun yang ingin masuk ke keraton sultan tidak dapat secara langsung mendekati bangunan tersebut tetapi harus melalui titik-titik tertentu sehingga mudah dipantau dan cepat diantisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antara lain seperti penyerangan mendadak.
Secara keseluruhan Benteng Kuto Besak berdenah persegipanjang dan berukuran 288,75 m x 183,75 m, serta menghadap ke arah tenggara tepat di tepi Sungai Musi. Di tiap-tiap sudut benteng terdapat bastion, tiga bastion di sudut utara, timur dan selatan berbentuk trapesium sedangkan bastion sudut barat berbentuk segilima. Benteng Kuto Besak memiliki tiga pintu gerbang, yaitu di sisi timur laut dan barat laut serta gerbang utama di sisi tenggara.
Tembok keliling Benteng Kuto Besak sendiri juga mempunyai keunikan, yaitu bentuk dinding yang berbeda-beda pada masing-masing sisi benteng, demikian juga dengan tingginya. Dinding tembok sisi timur laut mempunyai ketebalan yang sama, ketinggian dinding tembok bagian depan adalah 12,39 m sedangkan bagian dalam 13,04 m, sehingga bagian atasnya membentuk bidang miring yang landai. Tampak muka dinding sisi timur laut ini juga dihiasai dengan profil. Sama dengan dinding sisi tenggara, dinding sisi timur laut juga dilengkapi dengan celah intai yang berbentuk persegi dengan bagian atas berbentuk melengkung. Lubang celah intai tersebut juga berbentuk mengecil di bagian tengahnya.
Dinding tembok sisi barat daya mempunyai dua bentuk yang berbeda. Secara umum tembok sisi barat daya ini dibagi dua karena di bagian tengahnya terdapat pintu gerbang. Dinding tembok sisi barat daya bagian selatan mempunyai bentuk dimana bagian bawahnya lebih tebal dari pada bagian atas, yaitu 1,95 m dan 1,25 m tetapi bagian dalam dan luar dinding mempunyai ketinggian yang sama yaitu 2,5 m. Dinding tembok sisi barat daya bagian utara mempunyai bentuk dimana bagian bawah lebih tebal daripada bagian atas yaitu 2,35 m dan 1,95 m. Ketinggian dinding bagian dalam dan luar adalah 2,5 m.
Dinding tembok sisi barat laut memiliki bentuk yang hampir serupa dengan dinding tembok barat daya bagain selatan. Tebal dinding bagian bawah adalah 1,6 m sedangkan bagian atas 1,15 m. Ketinggian dinding adalah 2,25 m.
Saat ini keadaan Benteng Kuto Besak telah mengalami beberapa perubahan. Secara kronologi tinggalan-tinggalan arkeologi yang berada di Benteng Kuto Besak berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam dan Kolonial Belanda. Secara khusus tinggalan arkeologi yang berasal dari masa Kesultanan Palembang Darussalam adalah tembok keliling dan pintu gerbang bagian barat daya; sedangkan tinggalan arkeologi yang berasal dari masa Kolonial Belanda adalah gerbang utama Benteng Kuto Besak dan beberapa bangunan yang terdapat di dalam benteng. Berdasarkan gaya arsitekturnya, bangunan-bangunan di dalam Benteng Kuto Besak diidentifikasikan bergaya Indis yang berkembang di Indonesia pada awal abad ke XX.
Comments
Post a Comment