BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Teori
Lapangan (field theory) atau
dinamakan juga Teori Psikodinamika ,
sering dikira orang hanya dikemukakan oleh Kurt Lewin . Hal ini tidak benar
karena selain Lewin ada Tokoh- tokoh lain yang juga mengemukakan Teori Lapangan
seperti Tolman (1932) ,Wheeler ( 1940), Lashley (1929) dan Brunswik (1949) .
Kelebihan Kurt Lewin atas tokoh- tokoh lainnya adalah bahwa Lewinlah yang
paling jauh mengembangkan Teori Lapangan ini sehingga ia dikenal sebagai tokoh
yang paling muka . Salah satu ciri yang
terpeting dari Teori Lapangan adalah bahwa teori ini menggunakan metode
“ Konstruktif” .
Metode
konstruktif, atau disebut juga metode “ genetic” adalah metode yang
digunakan Lewin sebagai pengganti metode
“ klasifikasi” yang pada waktu itu lebih lazim dipakai. Metode klasifikasi
menurut Lewin mempunyai kelemahan karena hanya mengelompokkan objek studi berdasarkan persamaan- persamaannya.
Pengelompokan seperti ini bersifat statis. Padahal , lewin menghendaki metode
yang dinamis karena objek studinya adalah tingkah laku yang dinamis pula. Sifat
dinamis ini ada pada metode konstruktif yang menghasilkan objek- objek studinya
berdasarkan hubungan antara satu objek dengan objek lainnya .
Dengan
metode konstruktif yang sifatnya dinamis ini , maka teori lapangan pun bersifat
dinamis. Konsekuensi kedua dari metode konstruktif yang menjadi ciri teori
lapangan adalah bahwa cara pendekatan yang digunakan dalam teori lapangan
selalu harus psikologis . Ketiga , analisis dalam teori lapangan harus berawal
dari situasi sebagai keseluruhan (totalitas) , tidak dimulai dari elemen-
elemen yang berdiri sendiri . Dari awal yang menyeluruh itu barulah dapat
dilakukan analisis terhadap masing-masing elemen atau bagian dari situasi
secara khusus. Keempat, tingkah laku harus dianalisis dalam rangka “lapangan”
pada saat tingkah laku terjadi.
Cara
pendekatannya tidak perlu historis, jadi tidak perlu menghubungkan dengan masa
lalu seperti pada psikoanalisis, tetapi harus tetap sistematis. Konsekuensi
kelima adalah bahwa bahasa yang digunakan dalam teori lapangan harus eksak dan
logis , jadi harus berupa bahasa matematik. Namun , bahasa matematik tidak
hanya kuantitatif . bahasa matematik menurut Lewin bisa juga kualitatif.
1.2.
Rumusan dan Masalah
Berpijak dari latar belakang di atas,
maka yang menjadi rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah :
Mengetahui pembahasan lengkap tentang
teori lapangan
1.3Tujuan dan Manfaat Pembahasan
Ada beberapa
tujuan dari makalah yang kami tulis ini, antara lain :
a)
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
”Psikologi Sosial 2”
b)
Sebagai bahan presentasi dalam diskusi
tatap muka mata kuliah Psikologi Sosial 2
c)
Sebagai bahan bacaan bagi yang berkenan
membacanya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep- konsep Dasar Teori
Lapangan
Metode
konstruktif memerlukan konstruk- konstruk yaitu pengertian yang mencakup
serangkaian konsep. Dengan perkataan lain, konstruk adalah elemen dari teori
lapangan , sedangkan konsep adalah elemen dari konstruk. Konstruk yang
terpenting dari Teori lapangan tentunya adalah lapangan itu sendiri , yang
dalam psikologinya diartikan sebagai lapangan kehidupan ( life space).
a. Lapangan Kehidupan
Lapangan
kehidupan dari seorang individu terdiri dari orang itu sendiri dan lingkungan
kejiwaan ( psikologis) yang ada padanya. Demikian pula lapangan kehidupan suatu
kelompok adalah kelompok itu sendiri ditambah dengan lingkungan tempat kelompok
itu berada pada suatu saat tertentu.
Lapangan kehidupan terbagi-bagi dalam
wilayah-wilayah (region) atau disebut
juga lingkungan kehidupan (life-sphere).
Lingkungan kehidupan ini ada yang bersifat nyata (reality) seperti ibu , teman , pekerjaan , dan sebagainya dan ada
pula yang bersifat maya (irreality) ,
seperti harapan , cita-cita , dan sebagainya. Jadi , lapangan kehidupan mempunyai
dimensi nyata-maya (dimensi R-I).
Dimensi kedua dari lapangan kehidupan
adalah kecairan (fluidity) dari
lingkungan-lingkungan kehidupan tersebut di atas . kecairan berarti dapat
terjadi gerak , perpindahan dari satu wilayah kewilayah yang lain yang tergantung
pada kertas atau lunaknya dinding-dinding pembatas dari masing-masing wilayah
dalam lapangan kehidupan itu.
Dimensi lain dari lapangan kehidupan
adalah “ waktu psikologik”. Walaupun cara pendekatan yang digunakan Kurt Lewin
adalah ahsitoris, perkembangan lapangan kehidupan itu sendiri menyebabkan
adanya masa lalu , masa kini , dan masa depan psikologik.
Beberapa hal yang
dapat menyebabkan perubahan lapangan kehidupan yaitu :
1.
Meningkatkan diferensiasi dalam suatu
wilayah :
2.
Dua atau beberapa wilayah menggabung
menjadi satu;
3.
Diferensiasi berkurang ;
4.
Suatu wilayah pecah , membebaskan
diri dan membentuk wilayah sendiri;
5.
Restrukturisasi, yaitu ada perubahan
pola pada wilayah-wilayah dalam lapangan kehidupan , tetapi tidak terjadi
diferensiasi .
b. Tingkah laku dan lokomosi
Tingkah laku menurut lewin adalah lokomosi
(locomotion) yang bearti perubahan atau gerakan pada lapangan kehidupan.
Misalnya, seorang pegawai pergi dari kantornya (wilayah kerja) ke rumah sakit (
wilayah kesehatan) untuk memeriksakan diri ke dokter , maka pegawai itu
melakukan suatu lokomosi.
Lokomosi dapat terjadi karena ada
“komunikasi” antara dua wilayah dalam lapangan kehidupan seseorang. Komunikasi
antara dua wilayah itu menimbulkan ketengangan (tension) pada salah satu
wilayah dan ketengangan menimbulkan kebutuhan (need) dan kebutuhan inilah yang
menyebabkan tingkah laku. Masih ada satu faktor
lagi yaitu batas-batas (barrier) wilayah yang bersangkutan.
c. Daya (forcer)
Berbicara tentang daya, Kurt Lewin
membagi-bagi daya dalam beberapa jenis seperti dijelaskan berikut ini:
1.
Daya yang mendorong
2.
Daya yang menghambat
3.
Daya yang berasal dari kebutuhan
sendiri
4.
Daya yang berasal dari orang lain
d.
Daya yang impersonal
e. Ketegangan (tension)
Tentang “ketegangan” digambarkan
dengan baik sekali oleh Zeigarnik (1927) dalam suatu eksperimennya. Dalam
eksperimen tersebut Zeigarnik meminta sejumlah orang percobaan untuk melakukan
suatu tugas tertentu, misalnya menyelesaikan suatu persoalan berhitung. Salah
satu faktor penting yang dapat menurunkan ketegangan adalah ketembusan
(permeability) , yaitu sampai berapa jauh batas-batas suatu wilayah dapat
ditembus oleh daya dari wilayah-wilayah lain disekitarnya. Factor lain yang
juga berpengaruh pada peredaan ketegangan adalah kejenuhan.
2.2 Penerapan teori lewin
a. Konflik
Konflik adalah suatu keadaan di mana
ada daya-daya yang saling bertentangan arah, tetapi dalam kadar kekuatan yang
kira-kira sama.
Ada tiga macam konflik yaitu:
1.
Konflik mendekat -mendekat (approach-approach
conflict), yaitu orang (p) berada di antara dua valensi positif
yang sama kuat ( lihat gambar 3. 2a).
2.
Konflik menjauh-menjauh (avoidance-avoidance
conflict), yaitu P berada di
antara dua valensi negatif yang sama kuat (lihat gambar 3. 2b).
3.
Konflik mendekat-menjauh (approach-avoidance
conflict) yaitu menghadapi valensi positif dan negatif pada jurusan
yang sama (lihat gambar 3. 2c).
b. Tingkah Laku Agresif
Dalam
eksperimennya , Kurt Lewin dan kawan-kawan (Lewin , lippit , white , 1939)
menemukan bahwa dalam kelompok anak laki-laki yang berdiri tugas-tugas tertentu
di bawah pimpinan seorang pemimpin yang demokratis , maka tampak bahwa tingkah
laku agresif yang timbul berada dalam taraf yang sedang (medium). Akan tetapi,
kalau pemimpin kelompok itu adalah seorang yang otoriter, maka perilaku agresif
mereka menjadi tinggi atau justru sangat rendah.
2.3 Kelebihan dan kelemahan teori lapangan
Sumbangan terbesar dari Teori
Lapangan adalah adanya bukti bahwa penelitian psikologi social dapat juga
dilakukan dengan metode eksperimental dan dapat dilakukan dalam laboratorium. Akan
tetapi , teori ini juga mengandung beberapa kelemahan yaitu:
Kurt Lewin tidak menyajikan teorinya
secara sistematis
Banyak konsep dan konstruk yang tidak
didefinisikan secara jelas sehingga member arti yang kabur.
Teori ini terlalu bersibuk diri
dengan aspek-aspek yang mendalam dari kepribadian sehingga agar mengabaikan
tingkah laku motoris yang “overt” (Nampak dari luar).
Penggunakan konsep-konsep topologi
telah menyimpan dari arti sebenarnya (penyalah gunaan topologi).
TEORI-TEORI
LAPANGAN DALAM PSIKOLOGI SOSIAL
Berikut
ini akan dibahas empat Teori Lapangan yang diterapkan dalam psikologi social ,
yaitu :
1. Teori tentang Hubungan
interpersonal (Heider 1958)
Heider menganut metode konstruksi dari lewin
dalam teorinya untuk menerangkan hubungan antara manusia. Psikologi Heider
disebut juga psikologi common-sense.
Alasan Heider adalah bahwa common-sense (logika berpikir
sehari-hari) merupakan hal yang mengatur tingkah laku orang terhadap orang
lain.
Berdasarkan
cara pendekatan common sense tersebut
, Heider mengemukakan bahwa tingkah laku interpersonal dapat diuraikan ke dalam
sepuluh aspek yang masing-masing akan dibicarakan berikut ini.
a. Mengamati Orang lain
Aspek pertama dari
tingkah laku interpersonal adalah mengamati orang lain. Pengamatan terhadap
orang sebenarnya tidak berbeda dari pengamatan terhadap objek-objek lainnya
(seperti meja , mobil , pohon . dan lain-lain). Hanya saja orang yang diamati
itu memiliki kemampuan emosi, kehendak, keinginan, dan sentimen yang tidak
terdapat pada benda mati. Heider berpendapat bahwa proses pengamatan terbagi
dalam dua bagian. Bagian yang pertama adalah busur pengamatan (perceptual arc) yang melibatkan objek-objek
di luar (disebut rangsang “distal”). Bagian yang kedua adalah pengamatan (percept) itu sendiri , dimana rangsang
distal yang sudah kontak dengan pengindaraan sudah berubah menjadi rangsang
“proksimal” (rangsang dalam bentuknya yang sudah diolah oleh pengindraan). Heider
membedakan antara rangsang local dan rangsang total (keseluruhan). Rangsang
local adalah bagian dari pengamatan (percept), sedangkan rangsang total adalah
situasi keseluruhan dimana rangsang total terkait.
b. Orang lain sebagai pengamat
Dalam pengamatan
terhadap lingkungannya, termasuk terhadap orang lain (O), seorang (P) menyadari
bahwa O juga mengamati P. pengamatan ini berpengaruh terhadap P dalam tiga hal
, yaitu tindakan , harapan , dan sifat-sifatnya.
c. Analisis yang Naif terhadap
Tindakan orang
Dalam hubungan
interpersonal, seseorang mengamati dan menginterpretasi perilaku atau tindakan
orang lain. Dalam menginterprestasi tindakan orang lain itu dilakukan analisis
secara sederhana (naïf) dan dalam analisis itu dicari sifat-sifat bawaan
(dispotitional properties) dari orang yang sedang diamati tersebut. Sifat-sifat
bawaan adalah factor-faktor yang mendasari perilaku seseorang yang tidak berubah-ubah
(permanen).
Sifat-sifat bawaan
ini dalam teori Heider penting artinya karena merupakan bagian dari daya
(forces) yang datang dari diri pribadi (personal forces). Sebagai penganut
mazhab Lewin , Heider mengemukakan bahwa tingkah laku merupakan hasil dua daya,
yaitu daya pribadi (personal factors) dan daya yang datang dari lingkungan
(environ mental forces).
Daya pribadi yang
efektif ( yaitu yang merupakan hasil
dari seluruh daya yang ada dalam pribadi seseorang) dianalisis lebih lanjut
oleh Heider dan dinyatakan terdiri dari dua factor , yaitu factor kekuasaan
(power) dan factor motivasi. Faktor kekuasaan terutama ditentukan oleh
kesanggupan (ability) dan factor motivasi di tentukan oleh keinginan (intention
, yaitu seberapa kuat ia mencoba). Kekuasaan dan percobaan (trying) adalah yang
paling menentukan daya pribadi yang efektif.
Factor motivasi
(mencoba) adalah factor yang mendorong dan mengarakan tindakan. Factor motivasi
inilah yang terpenting dalam hubungan interpersonal.
d. Kausalitas Personal dari
Impersonal
Heider membedakan
gejala dalam hubungan interpersonal dalam dua jenis , yaitu yang disebutnya
sebagai kausalitas personal dan kausalitas impersonal.
e. Hasrat dan Kesenangan
Hasrat (desire)
adalah sesuatu yang harus ada terlebih dahulu sebelum timbul percobaan
(trying). Dengan perkataan lain , hasrat merupakan pra kondisi dari percobaan ,
sedangkan kesenangan (pleasure) adalah pengalaman yang timbul akibat (setelah)
percobaan.
f. Sentimen
Sentimen adalah
perasaan yang timbul dalam diri seseorang (P) kepada orang lain (O) atau
benda-benda lain (X). keterangan ini lebih dekat pada orientasi Teori Kognitif
dari pada Teori Lapangan.
Sentimen ada dua
macam : positif dan negatif , yang oleh Heider dinamai suka (Like) dan tidak
suka (dislike). Pengaruh dari dua macam
sentimen ini terdadap hubungan interpersonal adalah bahwa ia dapat menimbulkan
atau menghambat pembentukan unit (unit information) dan keadaan berimbang
(balances state). Pembentukan unit terjadi jika dua orang atau lebih saling
mempunyai sentimen positif (saling menyukai) sehingga mereka merasa saling
memiliki.
g. Keharusan dan Nilai
Heider mengemukakan
dua konsep , yaitu keharusan (oughts) dan nilai (value). Keharusan adalah
hal-hal yang dituntut oleh lingkungan , keharusan bersifat impersonal.
Keharusan penting juga artinya dalam hubungan interpersonal karena semua orang
dalam lingkungan itu harus melakukannya.
Nilai juga bersifat
impersonal. Nilai menurut Heider hanyalah menyangkut segi positif dan suatu
hal. Perbedaan antara keharusan dan nilai adalah bahwa keharusan merupakan
hasil dari daya yang masih potensial dan baru muncul dalam bentuk perilaku
dalam keadaan-keadaan tertentu.
h. Permintaan dan perintah
Di samping daya yang
impersonal (keharusan dan nilai) , perilaku dalam hubungan interpersonal
dipengaruhi juga oleh daya-daya yang bersifat personal (datang dari orang,
bukan keadaan atau lingkungan non-orang).
i.
Keuntungan
dan kerugian
Jika O melakukan apa
yang dimintak atau diperintahkan P, maka O member keuntungan (benefit) kepada P
karena ia memberikan X yang bernilai positif karena P. sebaliknya , kalau O
tidak melakukan apa yang dimintak atau diperitahkan P, maka O akan merugikan
(barm) P karena X yang bernilai positif diperoleh.
j.
Reaksi
terhadap pengalaman orang lain
Persepsi terhadap pengalaman
orang lain (O) menimbulkan reaksi yang oleh psikologi common sense disebut
“emosi”. Emosi ini ada yang concordant, ada yang discordant. Emosi concordant
ada dua macam , yaitu ikut bersuka (pengalaman negatif dari O menimbulkan
pangalaman negatif pada P). emosi yang discordant juga ada dua macam yaitu iri
hati (pengalaman positif O menyebabkan pengalaman negatif pada P) dan
kegembiraan yang jahil (pengalaman negatif O justru menyebabkan pengalaman
positif P).
Emosi yang
concordant dikatakan oleh Heider sebagai ungkapan perasaan simpati yang sejati.
2. Teori Lapangan tentang kekuasaan
Kekuasaan social (social power) menurut
Cartwright adalah masalah yang sangat penting dalam menganalisis perilaku
social., Cartwright mendasarkan teorinya pada definisi yang dikemukakan oleh
Kurt Lewin (1951) tentang kekuasaan (power) sebagai berikut.
“ kekuasaan A
atas B dalam rangka mengubah X menjadi Y pada bagai hasil (kuosien) antara daya
maksimum yang dapat dipaksakan A terhadap B dengan daya tolak maksimum yang
dapat dihasilkan oleh B untuk bergerak menuju kea rah yang sebaliknya”.
Atas
dasar definisi Lewin tersebut di atas , Cartwright merumuskan kembalinya suatu
definisi yang tidak berintikan hasil bagi (kuosien/ratio) , melainkan lebih
berasaskan selisih. Reformulasi Cartwright tentang definisi kekuasaan berbunyi
sebagai berikut.
“ kekuasaan A atas B dalam rangka mengubah X
menjadi Y pada waktu tertentu sama dengan kekuatan maksimum dari daya-daya yang
dapat dihasilkan oleh A ke jurusan tersebut (X ke Y), pada waktu tersebut”.
Cartwright
, ia menyebutkan ketujuh istilah primitif itu adalah pelaku (egent), tindakan
pelaku (act of agent) , lokus (locus) , hubungan langsung (direct joining),
dasar motif (motive base), besaran (magnitude) , dan waktu (time).
Arti
dari istilah-istilah tersebut di atas diuraikannya sebagai berikut:
1.
Pelaku adalah suatu satuan yang dapat
menghasilkan pengaruh atau menderita akibat. Pelaku-pelaku ini biasanya adalah
orang , sedangkan bentuknya bisa berupa orang-perorangan, penitia, kelompok ,
badan hukum dan lain-lain.
2.
Tindakan pelaku adalah peristiwa yang
menggiatkan atau menimbulkan suatu pengaruh (efek). Untuk menimbulkan efek ini,
suatu pelaku harus melakukan suatu tindakan tertentu.
3.
Lokus adalah suatu tempat dalam tata
ruang.
Tempat ini bisa
berarti “wilayah” dalam teori Lewin , tetapi bisa juga berarti kedudukan dalam
kelompok atau organisasi dan bisa juga berarti suatu posisi pada sebuah skala sikap , skala pendapat ,
dan sebagainya.
4.
Hubungan langsung berarti kemungkinan
perpindahan langsung dari satu lokus ke lokus yang lain.
5.
Dasar motif adalah energi bawaan yang
menggerankkan tingkah laku, antara lain kebutuhan (need), dorongan (drive), dan
motif.
6.
Besaran adalah ukuran dari
konstruk-konstruk ( konsep-konsep) diatas. Ukuran tersebut bisa berupa
angka-angka dengan tanda-tanda plus (+) atau minus (-).
7.
Waktu menunjuk pada berapa lama
berlangsungnya suatu peristiwa. Indikator dari waktu bisa berupa ukuran-ukuran
waktu fisik (jam, menit , detik, dan sebagainya).
Berdasarkan ketujuh
istilah “ primitif “ tersebut di atas , Cartwright merumuskan daya terdiri dari
tindakan pelaku, dasar motif, sepasang lokus yang berhubungan langsung ,
besaran , dan waktu. Daya inilah yang membentuk kekuasaan seperti yang telah
diuraikan di atas.
3. Teori tentang kekuasaan social
Teori yang dikembangkan oleh French ini terutama
membahas proses pengaruh memengaruhi dalam kelompok , khususnya dalam kaitannya
dengan dengan pendapat dan perubahan pendapat kelompok. Proses pengaruh
memengaruhi itu menurut French melibatkan tiga pola ralasi dalam kelompok,
yaitu hubungan kekuasaan (power relation) antara anggota kelompok , pola
komunikasi dalam kelompok, dan hubungan antar pendapat dalam kelompok. Dengan
demikian , walaupun namanya teori kekuasaan social, teori French ini tidak
secara eksplisit membicarakan kekuasaan social.
French
mengemukakan bahwa ada lima macam kekuasaan dasar yang berpengaruh dalam
hubungan antara dua orang yaitu:
1.
Kekuasaan rujukan (referent power ,
atau attraction power) yang didasari oleh perasaan saling menyukai dan saling
beridentifikasi antara A dan B.
2.
Kekuasaan ganjaran (reward power)
yang didasari oleh kemampuan A untuk memberi ganjaran kepada B.
3.
Kekuasaan hukuman (coercive power)
yang didasari oleh kemampuan A untuk memberi hukuman kepada B.
4.
Kekuatan pengabsahan (legitimate
power) , yang didasari oleh hak yang ada pada A untuk membenarkan atau
menyalahkan tingkah laku B.
5.
Kekuatan keahlian (expert power) yang
didasari pada persepsi B bahwa A lebih tahu (punya lebih banyak informasi)
tentang hal-hal tertentu.
Berdasarkan lima
kekuasaan dasar tersebut di atas , French mengemukakan tiga postulat (dalil)
yang menyangkut hubungan kekuasaan , hubungan pendapat , dan perubahan
pendapat.
Postulat 1: hasil daya yang ada pada A untuk memaksa B ke
arah pendapat yang disetujui A sebanding dengan kekuatan dari
kekuasaan-kekuasaan dasar yang ada pada A terhadap B.
Postulat 2: kekuatan daya pada A untuk memaksa perubahan
pendapat B ke arah yang disetujui A berbanding terbalik dengan jarak perbedaan pendapat
antara A dan B.
Postulat 3: dalam satu unit, seseorang yang dipengaruhi
(B) akan mengubah pendapatnya sampai mencapai titik keseimbangan dimana daya
adalah nol.
4. Teori tentang kerja sama dan
persaingan
Teori ini dikembangkan oleh Deutsch (1949) dan di
dasarkan pada teori lapangan dari Kurt Lewin. Pusat perhatian teori ini adalah
pengaruh dan kerja sama (cooperation) dan persaingan (competition) dalam
kelompok kecil.
Perbedaan
antara kerja sama dan persaingan menurut Deutsch terletak pada sifat wilayah-wilayah
tujuan pada situasi tersebut. Dalam situasi kerja sama, wilayah yang menjadi
tujuan dari seorang anggota kelompok atau sub-subkelompok yang bersangkutan
jika individu-individu lain atau subkelompok lain juga bisa memasuki wilayah
tujuan itu.
Hipotesis
– hipotesis
Berdasarkan
definisi dan dampak kerja sama dan persaingan tersebut di atas, deutsch membuat
sejumlah hipotesis sebagai berikut :
1.
Individu-individu dalam situasi kerja
sama akan melihat diri mereka sendiri saling mendukung dan individu –individu
dalam situasi persaingan akan melihat diri mereka sendiri saling menghabat.
2.
Tindakan subsitusi lebih banyak
terjadi dalam situasi kerja sama dari pada situasi persaingan (substitusi
berarti tindakan seseorang dapat digantikan oleh tindakan orang lain ; tidak
perlu dua orang melakukan tindakan yang sama).
3.
Lebih banyak tindakan yang dipandang
positif ( menyenangkan) oleh anggota- anggota lain dalam kelompok kerja sama
dari pada dalam kelompok persaingan.
3a. lebih banyak
tindakan yang dipandang negatif (tidak
menyenangkan) oleh anggota-anggota lain dalam kelompok persaingan dari pada
dalam kelompok kerja sama.
4.
Dalam kelompok kerja sama lebih
banyak daya pada diri anggota kelompok yang diproduksi dan disalurkan kea rah
yang sesuai dengan arah yang dimaksud oleh pihak pengarah (inducer) dari pada
dalam kelompok persaingan.
4a. dalam diri
masing-masing anggota kelompok kerja sama lebih banyak terdapat konflik dari
pada dalam diri anggota-anggota kelompok persaingan.
5.
Anggota kelompok kerja sama akan lebih
banyak saling menolong dari pada anggota kelompok persaingan.
5a. anggota kelompok
persaingan akan lebih banyak saling menghambat dari pada anggota kelompok kerja
sama.
6.
Dalam satu waktu tertentu lebih
banyak aktivitas yang saling berkaitan (bekerja bersama-sama) antara anggota
kelompok kerja sama dari pada anggota kelompok persaingan.
6a. dalam suatu
jangka waktu , lebih sering terjadi koordinasi usaha dalam situasi kerja sama
dari pada situasi persaingan.
7.
Homogenitas dalam artian sumbangan
atau partisipasi lebih besar dalam situasi kerja sama dari pada siruasi
persaingan.
8.
Spesialisasi dari tugas dalam situasi
kerja sama lebih besar dari pada situasi persaingan.
9.
Spesialisasi dari aktivitas dalam
situasi kerja sama lebih besar dari pada situasi persaingan.
10. Struktur
tugas dalam situasi kerja sama lebih stabil dari pada situasi persaingan.
11. Peralihan
peran dalam rangka penyesuaikan terhadap perubahan lingkungan lebih dapat
terjadi dalam situasi kerja sama dari pada dalam situasi persaingan.
12. Arah
dari daya dalam kelompok kerja sama lebih serupa satu sama lain dari arah dan
daya dalam kelompok persaingan.
13. Tekanan
untuk berprestasi lebih berat dalam kelompok kerja sama dari pada kelompok
persaingan.
14. Kekuatan
daya yang menuju kea rah tujuan , pada kelompok kerja sama lebih besar dari
pada kelompok persaingan.
15. Jumlah
keseluruhan daya yang berkerja pada individu-individu dalam situasinya
masing-masing tidak berbeda antara yang berada dalam situasi kerja sama dan
situasi persaingan.
16. Kalau
tugas yang diberikan dapat diukur dengan lokomosi yang dapat dilihat
(abservable) tanda-tandanya, maka
tanda-tanda itu akan lebih banyak terlihat pada kelompok persaingan per unit
waktu dari pada kelompok kerja sama.
17. Bila
lokomosi dimungkinkan tanpa menimbulkan tanda-tanda , maka tanda-tanda yang
akan timbul akan lebih banyak pada kelompok kerja sama per unit waktu dari pada
kelompok persaingan.
18. Perhatikan
terhadap tanda –tanda yang ditimbulkan oleh orang lain lebih sedikit dalam
kelompok persaingan dari pada kelompok kerja sama.
19. Kesulitan
komunikasi lebih besar dalam kelompok persaingan dari pada kelompok kerja sama.
20. Kesulitan
komunikasi lebih besar , bahkan jika saling perhatikan cukup tinggi , pada
kelompok persaingan dari pada kelompok kerja sama.
21. Saling
setujuh dan saling menerima antara orang-orang yang saling berkomunikasi dalam
kelompok kerja sama lebih terjadi dari pada kelompok persaingan.
22. Anggota
kelompok kerja sama akan lebih tahu tentang aktivitas dalam kelompoknya dari
pada anggota kelompok persaingan.
23. Orientasi
pada kelompok lebih besar dalam kelompok kerja sama dari pada kelompok
persaingan.
24. Produktivitas
per unit waktu lebih besar pada kelompok
kerja sama dari pada kelompok persaingan.
24a. waktu yang
dibutukan oleh kelompok kerja sama untuk menghasilkan suatu jumlah produksi
tertentu lebih singkat dari pada waktu yang dibutukan oleh kelompok persaingan
untuk memproduksi jumlah yang sama.
25. Kualitas
hasil produksi dari kelompok kerja sama lebih tinggi dari pada kelompok
persaingan.
26. Anggota-anggota
kelompok kerja sama lebih banyak saling belajar antarmereka dari pada
anggota-anggota kelompok persaingan.
27. Suasana
bersahabat lebih besar dalam kelompok
kerja sama dari pada kelompok persaingan.
28. Anggota
kelompok kerja sama menilai hasil kerja kelompoknyalebih tinggi dari pada penilaian
anggota-anggota kelompok persaingan terhadap hasil kelompok mereka.
29. Tugas
bersama dalam kelompok kerja sama lebih besar persentasenya dari pada kelompok
persaingan.
30. Tugas
perorangan lebih besar persentasenya dalam kelompok persaingan dari pada kelompok
kerja sama.
31. Pandangan
seseorang terhadap sikap orang lain pada dirinya akan lebih realistis dalam
kelompok persaingan.
32. Sikap
seseorang terhadap tugasnya sendiri dalam kelompok kerja sama lebih mirip
dengan sikap orang-orang lain terhadap tugasnya itu dari pada dalam kelompok
persaingan.
33. Anggota
kelompok kerja sama lebih banyak melihat dirinya sendiri sebagai anggota
kelompok persaingan.
34. Peleburan
diri (incorporation) dengan sikap dari orang-orang lain pada umumnya (attitude
of generalized others) lebih sering terjadi dalam kelompok kerja sama dari pada
dalam kelompok persaingan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR
PUSTAKA
Sarwono,
S.W. 2011. Teori-Teori Psikologi Sosial .
Jakarta: PT.Raja Grafindo.
Comments
Post a Comment